Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 137 FOKUS PADA SOLUSI
Fokus pada tujuan sangat penting dalam mendidik anak. Sebab jika demikian kita akan bergerak menuju arah yang benar. Fokus orang tua teladan tentunya adalah mendidik anak menjadi lebih baik, salih dan memiliki karakter positif. Kami yakin tidak ada perbedaan pendapat di antara para orang tua dalam poin ini.
Namun realitanya, banyak orang tua yang prakteknya justru lebih fokus kepada hal-hal negatif yang ada dalam diri anak. Misalnya lebih fokus pada perilaku buruk anak, bukan perilaku baiknya. Lebih fokus pada kekurangan anak, bukan kelebihannya. Lebih fokus pada masalah, bukan solusi. Lebih fokus pada penyebab kegagalan, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Walaupun tujuannya baik. Yakni ingin anak memperbaiki diri. Namun karena caranya keliru dan porsi fokusnya tidak ideal, justru malah berakibat buruk.
Fokus pada Solusi, Bukan pada Masalah
Seringkali anak datang kepada kita menceritakan masalah. Banyak orangtua mengambil jalan mudah dengan langsung memberi nasihat dan solusi. Sekurang-kurangnya ada dua resiko dari kebiasaan ini:
Pertama: Saat nasehat tidak diterima apalagi dipatuhi, orang tua menjadi marah dan terjadi perdebatan panjang. Ketika anak sudah menganggap orang tuanya sebagai ‘lawan’; maka dia akan cenderung defensif.
Kedua: Kebiasaan menyuapkan solusi, bisa menyebabkan anak menjadi kurang memiliki kemampuan membuat solusi atas masalah yang dihadapinya. Mudah frustasi dan tergantung pada orang lain.
Keterbatasan kemampuan anak dalam berpikir, seringkali membuat mereka berfokus pada masalah. Yaitu ingin menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkannya. Bukan pada upaya mencapai hasil yang diinginkannya. Maka bimbingan orang tua pada anak untuk fokus pada solusi, amat penting. Sebab:
- Solusi selalu melibatkan tindakan dan proses belajar. Sedangkan fokus pada masalah justru membuatnya makin tenggelam ke dalam masalah dan sibuk menyalahkan keadaan dan orang lain.
- Fokus pada solusi memperluas wawasan dan membuka banyak alternatif penyelesaian.
- Anak akan mampu menasehati dirinya. Nasehat yang berasal dari diri sendiri, seberapa pun kerasnya, lebih mudah diterima oleh diri.
- Meningkatkan konsep diri dan kemandirian.
- Tidak mudah terbawa arus.
- Orang tua tidak perlu menjadi polisi dan pusat solusi sepanjang hidup.
Contoh Aplikatif
Barangkali Anda sering melihat kamar anak remaja Anda berantakan. Sehingga terdorong untuk mengomel dan membereskannya sendiri. Jangan biasakan perilaku ini!
Coba ingat-ingat kapan Anda melihat kamarnya rapi. Pasti pernah. Mungkin Anda lupa atau menganggapnya sebagai kewajaran yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, dalam upaya Anda menjadi orang tua salih, kerapian satu-dua kali yang dilakukannya sendiri sungguh berarti. Dan kesanalah Anda akan berfokus.
Tunggulah sampai anak Anda melakukannya lagi tanpa disuruh. Abaikan untuk sementara kamarnya yang berantakan. Biarkan dia belajar dari konsekuensi kamar berantakan. Misalnya, jadi kesulitan mencari sesuatu di tumpukan barang. Atau merasa malu ketika temannya berkunjung dan melihat kamarnya. Atau kamarnya menjadi bau oleh tumpukan kaus kaki dan baju kotor. Atau perasaan tak nyaman di tengah suasana bagai kapal pecah. Cepat atau lambat, dia akan kewalahan sendiri dengan segala konsekuensi itu dan akhirnya membereskan kamarnya.
Pada saat itu, pujilah dia dan berikan apresiasi. Jadikan momen ini untuk berfokus pada menemukan solusi. Anda dapat ‘menggiringnya’ untuk menemukan sendiri solusi dan membuat keputusan perbaikan. Anak-anak akan lebih berenergi untuk melaksanakan keputusannya sendiri. Selamat mencoba!
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 18 Dzulhijjah 1440 / 19 Agustus 2019